Rabu, 26 September 2012

kota probolinggo

E. TANGGAL 4 SEPTEMBER 1395 SEBAGAI HARI JADI KOTA PROBOLINGGO


2. Penetapan Tanggal 4 September 1359 Sebagai Hari Jadi Kota Probolinggo
a. Perjalanan Keliling (Inspeksi) Prabu Hayam Wuruk
Perjalanan keliling Prabu Hayam Wuruk ini dicatat dan ditulis oleh Pujangga Kerajaan yang terkenal yaitu Prapanca. Perjalanan keliling daerah kita baca dalam pupuh 17/4 bahwa Prabu Hayam Wuruk setelah berakhir musim dingin (maksudnya ialah musim hujan) sering mengadakan perjalanan keliling untuk mengunjungi daerah yang dekat-dekat seperti: Jalagiri, Blitar, Polaman, Daha dan sebagainya. Yang dikunjungi ialah desa Perdikan Jalagiri yang terletak tidak jauh dari sebelah Timur Majapahit, serta Wewe Pikatan di Candi Lima, dengan jalan kaki saja. Jika tidak kesitu, maka beliau suka berkunjung ke Palah untuk berziarah ke Candi Siwa. Perjalanan itu lalu diteruskan ke Blitar , Jimur Silaahrit, Polaman, Daha, Janggalah.
Selanjutnya Prapanca mencatat perjalanan keliling Prabu Hayam Wuruk diiringi oleh segenap pembesar pemerintah pusat pada tahun Saka 1275 (Masehi) ke Panjang; tahun saka 1276 (Masehi 1357) ke Pantai Selatan, menerobos hutan terus ke Lodaya, Teto dan Sideman; Tahun Saka 1281 (Masehi 1359) pada bulan Badra (Agustus-September) ke Lumajang. Mengenai perjalanan ini, Prapanca memberikan uraian yang panjang lebar, sehingga kita dapat mengetahui desa-desa dan daerah-daerah mana yang dikunjungi dalam perjalanan itu. Ternyata perhatian Prabu Hayam Wuruk besar sekali terhadap desa-desa dan bangunan suci. Juga kita ketahui pula betapa Prabu Hayam Wuruk disambut oleh para penghuni desa dan asrama yang didatanginya.
Perjalanan keliling itu dimaksudkan untuk menyaksikan sendiri keadaan kehidupan rakyat kecil di desa-desa di wilayah Majapahit, sekaligus juga menyaksikan pelaksanaan amanat beliau sendiri dan petunjuk para petugas pemerintah pusat. Demikianlah beliau tidak puas dengan laporan saja. Beliau ingin menyaksikan keadaan rakyat di desa-desa yang sulit dikunjungi orang sekalipun.
Dalam pupuh 80/4 dinyatakan dengan tegas maksud perjalanan keliling daerah yang dilakukan oleh Sri Nata Hayam Wuruk. Maksudnya ialah supaya musnah semua durjana di muka wilayah kerajaan Majapahit yang diperintah Sri Nata. Itulah sebabnya maka semua desa ditelusuri, dikunjungi, diteliti sampai desa-desa yang letaknya di tepi pantai laut sekalipun.
Kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Prapanca sebenarnya bernama Decawarnana, yang terutama menceritakan waktu Sang Prabu mengunjungi daerah-daerah dan pedesaan-pedesaan. Sri Nata sangat menaruh perhatian terhadap kehidupan di pedesaan. Perjalanan keliling dimaksudkan agar Sang Prabu dapat melihat sendiri bagaimana kehidupan”wong cilik” di desa-desa sekaligus apakah perintah-perintah yang ia telah berikan dalam pengarahan sudah dikerjakan oleh pejabat-pejabat eselon bawahan. Selain daerah-daerah dan desa-desa yang mendapat perhatian dari sang prabu, juga ia berziarah ke bangunan suci dan kalau terdapat kerusakan-kerusakan pada bangunan tersebut, segera diperintahkan untuk memperbaiki.
b. R. Ng Yosodipura, Pujangga Surakarta Hadiningrat, menuliskan :
Prabu Hayam Wuruk sajroning andong lelono anjajah praja ing tanggap warsa 1359, tahun candra nalungsure in jurang terpis, tumekeng perenging wuki Temenggungan tumuju ing argo Tengger ing Mada Karipura. Tumurun ing tepising wonodrikang banger ambeting warih, Sang Prabu manages ing ngarsanging Dewa, denyo nerusake lampah marang Sukodono ing wuwus nyuwun nuggroho supoyo tansah pinanjungan ing Hyang Widi bisa tansah kaleksanaan ing sediyo. Kang dadi ubayane ing wuri utusan pawongan ing Wono Banger babat Wono Gung mrih saranan ing rejaning projo ing wuri. Kasigek caritaning lampah, Sang Prabu sank Pungguwo cantang balung kinen angungak ing projo sadeng sawusnyo prang pupuh. Dening Sang Prabu wus kinaryo penggalihan in sumangso kelempahan kang katur babat wono gung arso pinaringan aprasanti dadio tungguling projo anyar aselisih akuwu kadipaten Sukodono Lumajang, Prasetianing sang noto ing tepising wonodri katiti ing mongso wanchi purnomo angglewang (lingsir), respati arinipun. Sang noto Rejosonenoro andon lelono ing brang wetan tumekeng manguni Blambangan lan saindenging brang wetan.
Artinya:
Prabu Hayam Wuruk selama berkelana keliling negara pada tahun 1359, tahun candra nalungsure ing jurang terpis (1359) tiba di lereng gunung Tumenggungan dan menuju ke gunung Tengger di Madakaripura. Menurun di tepi atau batas hutan yang sungainya berbau busuk. Sang Prabu memohon kepada Dewa, dapatnya meneruskan perjalanan ke Sukodono. Dalam kata-katanya memohon anugerah agar selalu dalam lindungan Hyang Widi, agar dapat terlaksana dalam kenyataan. Yang menjadi upaya / kehendak pada kemudian beliau menyuruh Punggawa di Wana Bangera agar membuka hutan yang lebat supaya menjadi daerah yang makmur di kemudian hari.
Tersebutlah jalannya cerita, Sang Prabu beserta pasukan tentaranya disuruh meninjau daerah Sadeng sesudah Perang Pupuh. Oleh Sang Prabu sudah direncanakan pada waktu melewati hutan lebat yang baru dibuka berkenan menganugerahi jabatan agar menjadi pimpinan / pemuka daerah yang baru bergelar Akuwu dalam Kadipaten Sukodono Lumajang. Janji Sang Nata di tepi hutan tercatat pada bulan Purnama condong, hari Kamis, Sang Nata Rejosonegoro berkelana di daerah Timur sampai menjumpai Blambangan dan pelosok daerah timur. Perintah Prabu Hayam Wuruk untuk membuka hutan Banger (babat alas Banger) tersebut diperhitungkan dan ditetapkan pada tanggal 4 September 1359.
c. Baremi, Banger, Borang
Prapanca dalam bukunya Negara Kertagama dengan jelas menyebut nama-nama desa (daerah): “Borang, Banger, Bermi”. Nama-nama desa-desa tersebut dituliskan pada Pupuh XXI/1 dan XXXIV/4. Desa Baremi merupakan pendukuhan di Kelurahan Sukabumi Kota Probolinggo. Borang, sekarang bernama Kelurahan Wiroborang sebagai paduan antara Wirojayan dan Borang. Desa Banger yang terletak di antara Bremi dan Borang, sekarang merupakan pusat Kota Probolinggo. Sedangkan nama Banger sekarang masih dipakai untuk menyebutkan nama sungai yang mengalir di tengah Kota Probolinggo. Sungai dengan aliran kecil, merupakan saluran pembuangan dan berbau busuk. Tetapi kira-kira sekitar tahun 1900, sungai ini masih lebar, airnya jernih. Banyak perahu dagang dari Madura dapat masuk berlabuh di pusat perdagangan, di jalan Siaman. Dahulu tempat ini merupakan sebuah teluk, yang disebut “Tambak Pasir”. Kira-kira tahun 1928 sebagian dari sungai ini ditimbun (diurug) dijadikan jalan yang sebagian menjadi Jalan Siaman dan Jalan KH. Abdul Aziz. Ada sementara orang berpendapat bahwa nama Banger ini diberikan / untuk memberi nama sungai yang airnya berbau banger / amis karena bau darah Minak Jinggo yang dipenggal kepalanya oleh Raden Damarwulan.
Jika yang dimaksud Minak Jinggo Damarwulan ialah Bre Wirabumi dengan Raden Gajah yang peperangannya terjadi pada tahun 1401-1406 (Perang Paregreg), maka anggapan tersebut tidak benar. Perang Paregreg terjadi pada tahun 1401-1406, sedangkan Prapanca menyebut nama Banger dalam buku Negara Kertagama yang ditulis pada tahun 1365 dan nama Banger sudah ada pada tahun 1359 Masehi. Jika bau banger itu disebabkan oleh bau darah dan mayat-mayat yang terjadi akibat peperangan antara Majapahit dengan Lumajang pada ”Pemberontakan Nambi, Aria Wiraaja” pada tahun 1316 Masehi, ini masuk akal, karena terjadinya sebelum perjalanan keliling ke Lumajang.

F. TANGGAL 1 JULI 1918 DAN 4 SEPTEMBER 1359

Tanggal 1 Juli 1918 sebagai hari jadi Pemerintah Kota Probolinggo, karena pada tanggal 1 Juli 1918 Pemerintah kolonial Belanda membentuk Gemeeente (Kota) Probolinggo, di bawah Kabupaten Probolinggo.
Tanggal 4 September 1359 sebagai hari jadi Kota Probolinggo, karena pada tanggal 4 September 1359, Prabu Hayam Wuruk memerintahkan untuk membuka (babat) alas Banger untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Pemerintahan di Banger semula berada di bawah Akuwu di Sukodono, kemudian menjadi Pakuwon, Kadipaten, Kabupaten dan Kota Probolinggo.
Tanggal 1 Juli 1918: Hari jadi Pemerintahan Gemeeente/ Kota Probolinggo, mulai adanya Pemerintah Kota. Tanggal 4 September 1359: Hari jadi Kota Probolinggo terbentuk, adanya wilayah/ daerah Kota Banger, cikal bakal Probolinggo.
Banger akhirnya menjadi Kabupaten Probolinggo dengan Probolinggo ASRI-nya dan Kota Probolinggo dengan Probolinggo BESTARI-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar